Senin, 21 November 2011

Materi Ushul Fiqh ( 'urf )

'urf

A. Pengertian
Urf menurut bahasa berarrti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat.

Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi

B. Pembagian urf
1. Ditinjau dari bentuknya ada dua macam
a. Al Urf al Qualiyah ialah kebiasaan yang berupa perkataan, seperti kata lahm ( daging) dalam hal ini tidak termasuk daging ikan.

b. Al Urf al Fi’ly, ialah kebiaasaan yang berupa perbuaatan, seperti perbuatab jual beli dalam masyarakat tampa mengucaplan akad jual-beli.

2. Ditinjau dari segi nilainya, ada dua macam :
a. Al Urf As Shahih, yaitu urf’ yang baik dan dapat diterima, karena tidak bertentangan dengan nash hukum syara’.
b. Al Urf al Fasid ialah urf yang tidak dapat diteima, karena bertentangan dengan hukum syara.

3. Ditinjau dari luasnya berlakunya, ada dua macam :
a. Al Urf Am, ialah Urf’ yang berlaku untuk seluruh tempat sejaka dahulu hingga sekarang.
b. Al urf al Khas, yaitu urf yang yang berlaku hanya dikenal pada suatu tempat saja, urf adalah kebiasaan masyarakat tetentu.

C. Syarat-syarat urf dapat diterima oleh hukum islam
1. Tidak ada dalil yang khusus untuk suatau masalah baik dalam al Qur’an atau as Sunnah.
2. Pemakian tidak mengankibatkan dikesampingkanya nas syari’at termasuk juga tidak mengakibatkan masadat, kesulitan atau kesempitan.
3. Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang saja.

D. Kehujjahan ’urf
Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan.

Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’.

Imam Safi’i terkenal dengan Qoul Qadim dan qoul jadidnya, karena melihat pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan mesir yang berlainan. Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima , hal itu jelas karena bertentangan dengan syarat nash maupun ketentuan umum nash.

Daftar Pustaka
Djazuli, Prof. H. A, Ilmu Fiqh, Pengalian, perkembangan, penerapan hukum Islam, Prenada Media, Jakarta, 2005
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, al dar Al Kawaetiyah, Mesir, 1968
Drs. Zarkasi Abdul Salam, Drs. Oman Faturrohman SW, Pengantar Ushul Fuqh 1. LESFI, Yogyakarta

Materi Ushul Fiqh ( ijtihad )

ijtihad

A. Pengertian
Ijtihad menurut bahasa adalah pencurahan segenap kesangupan untuk mendapatkan suatu urusan atau sesuatu perbuatan. sedangkan menurut istilah pencurahan segenap kesangupan untuk mendapat hukum syara’ amali dan dalil-dalil yang masih tafsili.

Dasar dasar yang dipergunakan diperbolehkan untuk berijtihad adalah surat An-Nisa’ ayat 59;
” Hai orang-orang yang beriman,taatilah Allah dan ta’attilah Rasul dan Ulil Amri diantara kamu ” , ulil Amri disini diartikan sebagai para Mujtahid.

B. Syarat-syarat melakukan Ijtihad
Tingkatan-tingkatan Mujtahid
1. Mujtahid fi Asyar’i : yaiti mujthid yang memiliki syarat-syarat secara sempurna dan ia melakukan ijtihad dalam berbagai masalah hukum syara’, tampa terikat oleh sesuatu mazhab.

2. Mujtahid Muntasib adalah mujtahid yang memilki syarat-syarat secar sempurna dan ia melakukan ijtihad dan ia mengikuti jalan-jalan yang telah ditetapkan oleh para imam mazhabnya ia hanya memengangi dasar-dasar yang ditetapkan oleh imam mazhabnya tetapi ia mungkin berselisih dalam masalah furu’ yang telah ditetapkan oleh imam mazhab.

3. Mujtahid fi al-Mazhab adalah Mujtahid yang mengikuti usul imam mazhabnya dan ia juga mengikuti dalam masalah furu’, akan tetapi ia mampu melakukan ijihad dalam masalah-masalah yang belum atau tidak ditetapkan oleh imam mazhab.

4. Mujtahid Murajih yaitu Mujtahid yang selalu terikat yang selalu terikat oleh usul-usul imamnya dalam masalah furu’ hanya saja ia mampu jika ada masalh yang dipersilisihkan dikalangan mazdhabnya , ia mampu melakukan tarjih (menetapkan dalil yang lebih kuat) untuk menentukan man pendapat yang lebih kuat atau man pendapat yng lebih utama untuk digunakan.

Daftar Pustaka
Djazuli, Prof. H. A, Ilmu Fiqh, Pengalian, perkembangan, penerapan hukum Islam, Prenada Media, Jakarta, 2005
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, al dar Al Kawaetiyah, Mesir, 1968
Drs. Zarkasi Abdul Salam, Drs. Oman Faturrohman SW, Pengantar Ushul Fuqh 1. LESFI, Yogyakarta,1994

Materi Ushul Fiqh ( ijma' )

ijma'

A. Pengertian
Ijma’ menurut bahasa adalah ”sepakat atas sesuatu ”, sedangkan ijma’ secara istilah para ulama Ushul fiqh adalah kesempakatan para mujtahid di kalangan umat islam pada suatu masa setelah rasulullah wafat atas hukum syara’ pada peristiwa yang terjadi.

Dalam difinisi tersebut bahwa ijma baru akan terbentuk apabila ada kesepakatan dari para ulama, dan waktunya sesudah wafat Nabi Muhammad karean pada masa Nabi masih hidup ketetapan hukum langsun meruju’ kepadanya akan tetapi setelah beliu wafat harus ada kesepakan dari beberapa ulama’.

B. Rukun ijma’
1. Adanya beberapa pendapat yang yang menjadi suatu masa tertentu.
2. Adanya kesepakatan pendapat semua mujtahid dari kaum muslimin atas suatu hukum syara’ mengenai suatu perkara hukum pada waktu terjadinya tampa memandang tempat, kebangsaan dan kelompok mereka.
3. Kesepakatan pendapat itu nyata, baik berupa perkataan atau perbuatan
4. Kesepatan dari seluruh mujtahid itu benar-benar teralisir, apabila hanya sebagian saja dari mereka maka tidak terjadi ijma’

Menurut Abdul Wahab Khalaf ijma ’ tidak mungkin terjadi apabila diserahkan hanya kepada seseorang, dan munkin terjadi apabila diserahkan kepada pemerintah islam, masing-masing ditanya pendapatnya, dan mujtahid mengukapkan pendapatnya dan kebetulan pendapatnya mereka sama, maka pendapat itu menjadi ijma’ dan hukum di ijma’kan itu menjadi hukum syara’ yang wajib di ikuti oleh kaum muslimin.

C. Macam-macam ijma’
1. al ijma’ as Sarih adalah kesepakatan para mujtahid pada suatu masa atas hukum suatu peristiwa dengan menampilkan pendapatnya masing secar jelas, baik dengan perkatan ataupun dengan tulisan atau dengan perbuatan.
2. al ijma’ as Sukuty adalah jika sebagian mujtahid itu berdiam diri tidak berterus terang mengeluarkan pendapatnya dan diamnya itu bukan karena takut, segan atau karena malu, akan tetapi diamnya itu karena karena betul-betul tidak menangapi atas pendapat yang lain, baik menyetujuai atau menolaknya

D. Kedudukan dan kehujjahanya.
Para ulama menetapkam bahwa kedudukan ijma’ sebagai hujjah terletak dibawah deretan Al Qur’an dan As Sunah. Ijma tidak boleh menyalahi nas yang qat’i jumhur ulama mengatatakan bahwa hanya ijma’ sharih saja dapat dijadikan sebagi hujah syari’ah, akan tetapi ulama hanafiah menbolehkan hujah sukuti sebagai menjadi hujjah
Kebanyakan ulama berpendapat nilai kehujjahan ijma’ adalah dzanni

Referensi
Djazuli, Prof. H. A, Ilmu Fiqh, Pengalian, perkembangan, penerapan hukum Islam, Prenada Media, Jakarta, 2005
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, al dar Al Kawaetiyah, Mesir, 1968
Drs. Zarkasi Abdul Salam, Drs. Oman Faturrohman SW, Pengantar Ushul Fuqh 1. LESFI, Yogyakarta,1994

Materi Ushul Fiqh ( Al Qiyass )

Al Qiyass

A.Pengertian
Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan sesuatu, sedangkan menurut ahli ushul fiqh adalah menpersamakan huhum suatau peristiwa yang tidak ada nash hukumnya ’ dengan suatu peristiwa yang ada nash hukumnya, karena persamaan keduanya itu dalam illat hukumnya.

B. Rukun qiyas
1. Al-Asl, adalah malasalah yang telah ada hukumnya, bedasarkan nas, ia disebut al Maqis ’alaih ( yang diqiyaskan kepadanya ), Mahmul ’alaih( yang dijadikan pertangungan ) musyabbah bih ( yang diserupakan denganya).

2. Al Far’u, adalah masalah baru yang tidak ada nashnya atau tidak ada hukumnya, ia disebut Maqis ( yang diqiyaskan), AlMahmul) ( yang dipertanguhngkan) dan al musyabbah ( yang diserupakan ).

3. Hukum Asl yaitu hukum yang telah ada pad asl (pokok) yang berdasarkan atas nash atau ijma’, ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pad al far’u( cabang).

4. Al Illat adalah suatu sifat yangada pada asl yaang padanya lah dijadikan sebagai dasr untuk menentuan hukum pokok, dan berdasarkan ada nya keberadaanya sifat itu pada cabang (far), maka ia disamakan dengan pokoknya dari segi hukum.

Syarat-syarat i’llat
a. Illat itu adalah sifat yang jelas, yang dapat dicapai oleh panca indra.
b. Merupaka sifat yang tegas dan tidak elastis yakani dapat dipastiakan berwujudnya pada furu’ dan tidak mudah berubah.
c. Merupakan sifat yang munasabah , yakni ada persesuian antara hukum da sifatnya.
d. Merupakan sifat yang tidak terbatsas pada aslnya , tapi bisa juaga berwujud pad beberapa satuan hukum yang bukan asl.

C. Kehujahhan Qiyas
Jumhur ulama’ menerima qiyas menjadi hujjah dalam keadaan;
a. Apabila hukum asl dinas-kan illahnya.
b. Apabila qiyas itu merupakan salah satu dari pada Qiyas-qiyas yang dilakukan Rasulullah.
Dalam dua macam ini para ulama sepakat menetapkan bahwa keduanya menjadi hujjah syari’ah, dan qiyas selain kedua tersebut para ulama bebeda pendapat ada yang menerima dan dan adapula yan menolak sebagai hujjah syari’iyyah, diantara golongan yang menolak qiyas adalah An Nazzam dari golongan Zahiriyah dan segolongan ulama Syi’ah.


Daftar Pustaka
Djazuli, Prof. H. A, Ilmu Fiqh, Pengalian, perkembangan, penerapan hukum Islam, Prenada Media, Jakarta, 2005
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, al dar Al Kawaetiyah, Mesir, 1968
Drs. Zarkasi Abdul Salam, Drs. Oman Faturrohman SW, Pengantar Ushul Fuqh 1. LESFI, Yogyakarta,1994

Rabu, 02 November 2011

Metode Tapsir Al-Qur'an

Al-Qur’an bukanlah sekadar kitab suci, ia adalah pedoman hidup sekaligus penuntun bagi umat Islam dalam menjalani kehidupannya. Sebagai firman (kalamullah) Allah ia berisi nilai-nilai yang diperuntukan kepada manusia untuk dijadikan sumber bagi setiap permasalahan yang ada, maka Al-Qur’an adalah petunjuk (hudan) khususnya bagi orang-orang yang bertaqwa.[1] Walaupun di sisi lain, Al-Qur’an juga menjadi pedoman bagi seluruh umat manusia.[2]
Maka sebagai sebuah pedoman kehidupan, Al-Qur’an selalu menjadi obyek kajian dalam berbagai disiplin ilmu. Studi dan kajian terhadap Al-Qur’an tidak hanya dilakukan oleh umat Islam saja, namun para intelektual non muslim juga turut serta menggali “harta karun” ilmu pengetahuan yang dikandungnya. Maka berbagai metodologi dan disiplin keilmuan telah menjadikan Al-Qur’an sebagai obyek kajian utama. Tujuan dari kajian tersebut adalah untuk mengungkapkan tekstualitas maupun kontekstualisasi dari Al-Qur’an tersebut.
Dalam perkembangannya, kajian-kajian tersebut berkembang sehingga tidak hanya berkutat pada produk kajian keilmuan yang telah ada sejak masa lampau akan tetapi dikaitkan dengan keilmuan kekinian yang disajikan secara sistematis dan menggunakan pendekatan metode yang akurat.
Salah satu dari beberapa metode dan pendekatan yang akhir-akhir ini sering digunakan dalam kajian Al-Qur’an adalah pendekatan tafsir sosiologi, antropologi, psikologi dan hermeneutika. Kajian-kajian tersebut menambah variasi dari metode kajian Al-Qur’an dalam bentuk tafsir teologis dan ideologis yang telah ada sebelumnya. Apakah metode-metode penafsiran Al-Qur’an yang relative baru ini tidak bertentangan dengan metode-metode sebelumnya? Atau ada sinergi dan kesinambungan dan saling menguatkan di antara metode tersebut? Makalah ini akan membandingkan dan mengkaji mengenai metode kajian Al-Qur’an dalam bentuk tafsir dengan pendekatan teologis, ideologis dan antropoloigis.

Metode Tafsir Al-Quran
Metode secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu kata “methodos” yang berarti cara atau jalan. Dalam bahasa Inggris metode adalah “Method” yang artinya cara. Dalam bahasa Arab kata metode dikenal dengan kata “Thariqat” dan “Manhaj”. Kata metode daam bahasa Indonesia mengandung arti : “Cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan”[3]
Ilmu yang membicarakan tentang cara-cara untuk mencapai tujuan (metode) tersebut adalah Metodologi, yang berasal dari bahasa Yunani “metodos”, yaitu “metha” yang berarti melalui atau melewati dan “hodos” yang berarti jalan atau cara. Sehingga Metodologi adalah ilmu-ilmu yang digunakan untuk memperoleh “kebenaran” menggunakan penelusuran dengan tata cara tertentu dalam menemukan kebenaran, tergantung dari realitas yang sedang dikaji. Perbedaan antara Metode dan Metodologi adalah jika metode merupakan cara atau teknik untuk mencapai suatu tujuan, maka metodologi adalah ilmu yang membicarakan tentang cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.
Adapun tafsir secara bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu kata tafsir ( تفســير ) berasal dari kata فَسَّرَ yang mengandung arti: الإيضاح و البيان (keterangan dan penjelasan), yakni menyingkap dan menampak-kan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata الفســر berarti menyingkapkan sesuatu yang tertutup. Dalam Lisanul Arab dinyatakan: kata “al-fasr” berarti menyingkap yang tertutup, sedang kata “al-tafsir” berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafadz yang musykil dan pelik. Sedangkan para Ulama berpendapat : tafsir adalah penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia (mufassir).[4]
Tafsir menurut istilah, sebagaimana yang didefinisikan Abu Hayyan ialah: “Ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya”.
Menurut Abadullah Azzarkasyi dalam kitabnya ulumul qur’an, : tafsir adalah suatu ilmu untuk mengetahui dan memahami kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dan menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum-hukum dan hikmahnya, dan cocok dengan ilmu lughah dan ilmu nahwu dan sharaf ilmu bayan dan ushul fiqih dan ilmu qira’at dan asbabunuzul dan nasikh dan mansukh.[5] Sementara menurut imam As-Suyuti : tafsir adalah suatu ilmu yang menjelaskan makna-makna Alqur’an dan menerangkan secara umum lafadz yang sulit dan selainnya dan bentuk makna yang nyata dan selainnya.[6] Menurut Muhammad Abdul ‘azim azzarqni,: tafsir adalah suatu ilmu yang membahas tentang Alqur’anulkarim dari segi dalil-dalilnya terhadap apa yang dimaksud oleh Allah ta’la sesuai dengan kemampuan manusia.[7]
Menurut istilah, Tafsir berarti Ilmu untuk mengetahui isi kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam dan penjelasan maknanya serta pengambilan hukum dan makna-maknanya. Definisi lain tentang pengertian Tafsir dikemukakan oleh As-Shabuni, bahwa Tafsir adalah Ilmu yang membahas tentang Al-Quran Al-Kariem dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia. Tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya. Maka metode tafsir adalah suatu cara (metode) untuk menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan metdologi yang dibangun oleh mufassir tersebut.[8]
Dari beberapa definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa tafsir adalah suatu ilmu yang mengkaji dan membahas Alqur’an dan mencari hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya. Penafsiran sendiri secara factual tidak bisa lepas dari latar belakang penafsir tersebut, sehingga sebuah tafsir Al-Qur’an akan banyak dipengaruhi oleh penafsir sekaligus metodologi yang digunakan. Membahas tentang metode penafsiran Al-Qur’an maka kita tidak bisa lepas dari perkembangan tafsir sejak diturunkannya Al-Qur’an hingga empat belas abad sesudahnya.

Metode Tafsir Al-Qur’an
Kebutuhan umat Islam akan adanya penjelasan dari Al-Qur’an telah mendorong para ahli Al-Qur’an untuk mengembangkan berbagai metode penafsiran Al-Qur’an. Sehingga bermunculanlah berbagai kitab tafsir dengan metodenya masing-masing. Adapun beberapa metode tafsir tersebut adalah sebagai berikut :

1. Metode Tafsir Tahlily
Metode Tafsir Tahlily adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Di dalam tafsirnya, penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalam mushaf. Penafsir memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosa kata diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat. Ia juga mengemukakan munasabah (korelasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain.
Begitu pula, penafsir membahas mengenai asbab al-nuzul (latar belakang turunnya ayat) dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, atau Sahabat, atau para Tabi’in, yang kadang-kadang bercampur baur dengan pendapat para penafsir itu sendiri dan diwarnai oleh latar belakang pendidikannya, dan sering pula bercampur-baur dengan pembahasan kebahasaan dan lainnya yang dipandang dapat membantu memahami nash Al-Qur’an tersebut. Muhammad Baqir al-Shadr menyebut tafsir metode tahlily ini dengan tafsir tajzi’i, yang secara harfiah berarti “tafsir yang menguraikan berdasarkan bagian-bagian atau tafsir parsial”.[9]
Metode Tahlily kebanyakan dipergunakan para ulama masa-masa klasik dan pertengahan. Di antara mereka, sebagian mengikuti pola pembahasan secara panjang lebar (ithnab), sebagian mengikuti pola singkat (ijaz) dan sebagian mengikuti pula secukupnya (musawah). Mereka sama-sama menafsirkan Al-Qur’an dengan metode tahlily, namun dengan corak yang berbeda. Para ulama membagi wujud tafsir Al-Qur’an dengan metode tahlily kepada tujuh macam (bentuk) yaitu: Al-Tafsir bi al-Ma’Tsur, Al-Tafsir bi al-Ra’yi, Al-Tafsir al-Shufi, Al-Tafsir al-fiqhi, Al-Tafsir al-falsafi, Al-Tafsir al-‘ilmi, dan Al-Tafsir al-Adab al-ijtima’i.


2. Metode Tafsir Ijmaly
Metode Tafsir Ijmaly adalah suatu metode Tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Di dalam sistematika uraiannya, penafsir akan membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunan yang ada di dalam mushaf, kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut. Muffasir dengan metode ini, dalam penyampaiannya, menggunakan bahasa yang ringkas dan sederhana, serta memberikan idiom yang mirip, bahkan sama dengan Al-Qur’an. Sehingga pembacanya merasakan seolah-olah Al-Qur’an sendiri yang berbicara dengannya. Sehingga dengan demikian dapatlah diperoleh pengetahuan yang diharapkan dengan sempurna dan sampailah kepada tujuannya dengan cara yang mudah serta uraian yang singkat dan bagus.[10]
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan metode ini, mufassir juga meneliti, mengkaji dan menyajikan asbab al-nuzul atau peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat, dengan cara meneliti hadits-hadits yang berhubungan dengannya. Sebagai contoh: ”Penafsiran yang diberikan tafsir al-Jalalain terhadap 5 ayat pertama dari surat al-Baqarah, tampak tafsirnya sangat singkat dan global hingga tidak ditemui rincian atau penjelasan yang memadai.
Penafsiran tentang (Alif lam Mim), misalnya, dia hanya berkata: Allah Maha Tahu maksudnya. Dengan demikian pula penafsiran (Dzalikal kitab) hanya dikatakan: Yang dibacakan oleh Muhammad. Begitu seterusnya, tanpa ada rincian sehingga penafsiran lima ayat itu hanya dalam beberapa baris saja. Sedangkan tafsir tahlili (analitis), al-Maraghi, misalnya, untuk menjelaskan lima ayat pertama itu ia membutuhkan 7 halaman.

3. Metode Tafsir Muqaran
Yang dimaksud dengan metode ini adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis oleh sejumlah para mufassir. Di sini seorang mufassir menghimpun sejumlah ayat-ayat Al-Qur’an, kemudian ia mengkaji dan meneliti penafsiran sejumlah mufassir mengenai ayat tersebut melalui kitab-kitab tafsir mereka, apakah mereka itu mufassir dari generasi salaf maupun khalaf, apakah tafsir mereka itu tafsir bi al-ma’tsur maupun al-tafsir bi al-Ra’yi.
Kemudian ia menjelaskan bahwa di antara mereka ada yang corak penafsirannya ditentukan oleh disiplin ilmu yang dikuasainya. Ada di antara mereka yang menitikberatkan pada bidang nahwu, yakni segi-segi I’rab, seperti Imam al-Zarkasyi. Ada yang corak penafsirannya ditentukan oleh kecenderungan kepada bidang balaghah, seperti Abdl al-Qahar al-Jurjany dalam kitab tafsirnya I’jaz al-Qur’an dan Abu Ubaidah Ma’mar Ibn al-Mustanna dalam kitab tafsirnya al-Majaz, di mana ia memberi perhatian pada penjelasan ilmu ma’any, bayan,badi’,haqiqat dan majaz.
Jadi metode tafsir muqaran adalah menafsirkan sekelompok ayat Al-Qur’an dengan cara membandingkan antar ayat dengan ayat, atau antara ayat dengan hadits, atau antara pendapat ulama tafsir dengan menonjolkan aspek-aspek perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan itu.

4. Metode tafsir maudhu’i
Metode tafsir maudhu’i juga disebut dengan dengan metode tematik yaitu menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai maksud yang sama, dalam arti, sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasar kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Kemudian penafsir mulai memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan. Secara khusus, penafsir melakukan studi tafsirnya ini dengan metode maudhu’i, di mana ia melihat ayat-ayat tersebut dari seluruh seginya, dan melakukan analisis berdasar ilmu yang benar, yang digunakan oleh pembahas untuk menjelaskan pokok permasalahan, sehingga ia dapat memahami permasalahan tersebut dengan mudah dan betul-betul menguasainya, sehingga memungkinkan baginya untuk memahami maksud yang terdalam dan dapat menolak segala kritik.[11]
Demikianlah metode penafsiran Al-Qur’an yang sudah masyhur di tengah masyarakat. Bersamaan dengan globalisasi pemikiran yang kompleks maka sebagian pemikir Islam merumuskan bagaimana seharusnya penafsiran Al-Qur’an untuk menjawab permasalahan mutakhir yang dihadapi oleh umat manusia. Maka munculah berbagai metode penafsiran Al-Qur’an dengan pendekatan baru yang belum pernah dikenal sebelumhya, diantaranya adalah penafsiran dengan pendekatan Anhtropologi.

Tafsir Pendekatan Teologis
Istilah Teologi berasal dari bahasa Yunani yaitu theos yang berarti Tuhan, sedangkan kata logia bermakna kata-kata, ucapan, atau wacana. Maka teologi bisa dipahami sebagai nalar mengenai agama. Dengan demikian, teologi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama. Teologi meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan.[12]
Dalam ruang lingkup tafsir maka pendekatan tafsir teologis didasarkan pada kepercayaan terhadap kebenaran dogma atau informasi al-qur’an terutama tentang masalah ketuhanan dan kemudian menggunakan akal sebagai alat untuk membuktikan kebenaran informasi al-qur’an tersebut. Pendekatan ini juga sering diistilahkan dengan pendekatan tekstual dan rasional.
Pendekatan teologi dalam menafsirkan Al-Qur’an menggunakan cara berfikir deduktif yakni cara berfikir yang berawal dari kepercayaan yang diyakini benar dan mutlak adanya karena ajaran yang berasal dari Tuhan sehingga tidak perlu di pertanyakan terlebih dahulu melainkan dimulai dari keyakinan berikut juga di perkuat dengan dalil-dalil serta argumentasi.
Kebanyakan penafsiran madzhab mainstream menggunakan metode ini, yaitu menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan nilai-nilai yang diturunkan sesuai dengan keyakinan akan adanya Tuhan sebagai Sang Pemilik Al-Qur’an tersebut. Bisa dikatakan bahwa penafsiran yang dilakukan oleh ulama salaf kita menggunakan pendekatan metode theology. Hal in ibisa dipahami karena tujuan dari turunnya Al-Qur’an syarat dengan nilai-nilai keilahian (tehologi).
Pendekatan ini mempunyai beberapa kekurangan seperti bersifat eksklusif, dogmatis, tidak mau mengakui kebenaran yang berada di luar kelompoknya, walaupun dalam prakteknya dikembalikan kepada pemahaman masing-masing orang. Bisa saja seseorang menggunakan metode ini namun sikap tleransinya juga tinggi terhadap berbagai perbedaan dalam memahami Al-Qur’an.
Sedangkan kelebihan metode ini adalah seseorang akan memiliki sikap militan dalam beragama yaitu memegang teguh agamanya yang diyakini satu-satunya yang benar. Karena sifat dari Al-Quran yang syarat dengan nilai-nilai theolois maka wajar jika kaum muslimin jua menggunakan pendekatan metode ini dalam menafsirkan Al-Quran.

Selasa, 01 November 2011

PERKEMBANGAN STUDI ISLAM

Latar Belakang
Sejarah Islam merupakan bidang studi Islam yang banyak menarik perhatian para peneliti, baik dari kalangan sarjana muslim maupun non muslim. Karena dari penelitian itu banyak manfaat yang dapat dapat diperoleh dari penelitian tersebut.

Sementara itu, bagi para peneliti barat mempelajari sejarah Islam selain ditujukan untuk pengembangan ilmu, juga terkadang dimaksudkan untuk mencari kelemahan dan kekuatan umat Islam agar dapat dijajah dsb.

Disadari atau tidak, selama ini informasi mengenai sejarah Islam banyak berasal dari hasil penelitian sarjana barat. Hal ini terjadi karena selain masyarakat barat memiliki etos keilmuan yang tinggi, juga didukung oleh dana dan kemauan politik yang kuat dari para pemimpinnya. Sedangkan para peneliti muslim tampak disamping etos keilmuannya rendah, juga belum didukung oleh keahlian di bidang penelitian yang memadai, serta dana dan dukungan politik dari pemerintah yang kondusif.

Dari problematika di atas, kita sebagai pelajar muslim perlu untuk memepelajari ataupun meneliti sejarah perkembangan studi Islam di dunia muslim, barat dan juga di Indonesia.


Rumusan Masalah
Bagaimana sejarah perkembangan studi Islam di dunia Muslim?
Bagaimana sejarah perkembangan studi Islam di dunia Barat?
Bagaimana sejarah perkembangan studi Islam di Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN

Sejarah Perkembangan Studi Islam di Dunia Muslim

Studi Islam di dunia Islam sama dengan menyebut studi Islam di dunia muslim. Dalam sejarah muslim dicatat sejumlah lembaga kajian Islam di sejumlah kota. Maka uraian berikut adalah sejarah perkembangan studi Islam di dunia muslim.

Akhir periode Madinah sampai dengan 4 H, fase pertama pendidikan Islam sekolah masih di masjid-masjid dan rumah-rumah dengan ciri hafalan namun sudah dikenalkan logika. Selama abad ke 5 H, selama periode khalifah ‘Abbasiyah sekolah-sekolah didirikan di kota-kota dan mulai menempati gedung-gedung besar dan mulai bergeser dari matakuliah yang bersifat spiritual ke matakuliah yang bersifat intelektual, ilmu alam dan ilmu sosial.

Berdirinya sistem madrasah justru menjadi titik balik kejayaan. Sebab madrasah dibiayai dan diprakarsai negara. Kemudian madrasah menjadi alat penguasa untuk mempertahankan doktrin-doktrin terutama oleh kerajaan Fatimah di Kairo.

Pengaruh al-Ghazali (1085-1111 M) disebut sebagai awal terjadi pemisahan ilmu agama dengan ilmu umum. Ada beberapa kota yang menjadi pusat kajian Islam di zamannya, yakni Nisyapur, Baghdad, Kairo, Damaskus, dan Jerussalem. Ada empat perguruan tinggi tertua di dunia Muslim yakni: (1) Nizhamiyah di Baghdad, (2) al-Azhar di Kairo Mesir, (3) Cordova, dan (4) Kairwan Amir Nizam al-Muluk di Maroko. Sejarah singkat masing-masing pusat studi Islam ini digambarkan sebagai berikut:

Nizhamiyah di Baghdad

Perguruan Tinggi Nizhamiyah di Baghdad berdiri pada tahun 455 H / 1063 M. perguruan tinggi ini dilengkapi dengan perpustakaan yang terpandang kaya raya di Baghdad, yakni Bait-al-Hikmat, yang dibangun oleh al-Makmun (813-833 M). salah seorang ulama besar yang pernah mengajar disana, adalah ahli pikir Islam terbesar Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111 M) yang kemudian terkenal dengan sebutan imam Ghazali.

Perguruan tinggi tertua di Baghdad ini hanya sempat hidup selama hampir dua abad. Yang pada akhirnya hancur akibat penyerbuan bangsa Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 1258 M.

Al-Azhar di Kairo Mesir

Panglima Besar Juhari al-Siqili pada tahun 362 H/972 M membangun Perguruan Tinggi al-Azhar dengan kurikulum berdasarkan ajaran sekte Syiah. Pada masa pemerintahan al-Hakim Biamrillah khalifah keenam dari Daulat Fathimiah, ia pun membangun pepustakaan terbesar di al-Qahira untuk mendampingi Perguruan tinggi al-Azhar, yang diberri nama Bait-al-hikmat (Balai Ilmu Pengetahuan), seperti nama perpustakaan terbesar di Baghdad.

Pada tahun 567 H/1171 M daulat Fathimiah ditumbangkan oleh Sultan Salahuddin al-Ayyubi yang mendirikan Daulat al-Ayyubiah (1171-1269 M) dan menyatakan tunduk kembali kepada Daulat Abbasiyah di Baghdad. Kurikulum pada Pergutuan Tinggi al-Azhar lantas mengalami perombakan total, dari aliran Syiah kepada aliran Sunni. Ternyata Perguruan Tinggi al-Azhar ini mampu hidup terus sampai sekarang, yakni sejak abad ke-10 M sampai abad ke-20 dan tampaknya akan tetap selama hidupnya.
Universitas al-Azhar dapat dibedakan menjadi dua periode: pertama, periode sebelum tahun 1961 dan kedua, periode setelah tahun 1961. Pada periode pertama, fakultas-fakultas yang ada sama dengan fakultas-fakultas di IAIN, sedangkan setelah tahun 1961, di universitas ini diselenggarakan fakultas-fakultas umum disamping fakultas agama.

Perguruan Tinggi Cordova

Adapun sejarah singkat Cordova dapat digambarkan demikian, bahwa ditangan daulat Ummayah semenanjung Iberia yang sejak berabad-abad terpandang daerah minus, berubah menjadi daerahyang makmur dan kaya raya. Pada masa berikutnya Cordova menjadi pusat ilmu dan kebudayaan yang gilang gemilang sepanjang Zaman Tengah. The Historians history of the World, menulis tentang perikeadaan pada masa pemerintahan Amir Abdurrahman I sebagai berikut: demikian tulis buku sejarah terbesar tersebut tentang perikeadaan Andalusia waktu itu yang merupakan pusat intelektual di Eropa dan dikagumi kemakmurannya. Sejarah mencatat, sebagai contoh, bahwa Aelhoud dari Bath (Inggris) belajar ke Cordova pada tahun 1120 M, dan pelajaran yang dutuntutnya ialah geometri, algebra (aljabar), matematik. Gerard dari Cremonia belajar ke Toledo seperti halnya Adelhoud ke Cordova. Begitu pula tokoh-tokoh lainnya.

Kairwan Amir Nizam al-Muluk di Maroko

Perguruan tinggi ini berada di kota Fez (Afrika Barat) yang dibangun pada tahun 859 M oleh puteri seorang saudagar hartawan di kota Fez, yang berasal dari Kairwan (Tunisia). Pada tahun 305 H/918 M perguruan tinggi ini diserahkan kepada pemerintah dan sejak itu menjadi perguruan tinggi resmi, yang perluasan dan perkembangannya berada di bawah pengawasan dan pembiayaan negara. Seperti halnya Perguruan tinggi al-Azhar, perguruan tinggi Kairwan masih tetap hidup sampai kini. Diantara sekian banyak alumninya adalah pejuang nasionalis muslim terkenal.

Penyebab utama kemunduran dunia muslim khususnya di bidang ilmu pengetahuan adalah terpecahnya kekuatan politik yang digoyang oleh tentara bayaran Turki. Kemudian dalam kondisi demikian datang musuh dengan membawa bendera perang salib. Baghdad sebagai pusat ilmu pengetahuan ketika itu dihancurkan Hulaghu Khan 1258 M. Pusat-pusat studi termasuk yang dihancurkan Hulaghu.

Sejarah Perkembangan Studi Islam di Barat

Kontak Islam dengan Barat (Eropa) dapat dikelompokkan menjadi dua fase, yakni: (1) di masa kejayaan Islam (abad ke 8 M) kalau melihat Spanyol adalah abad 13 M, dan (2) di masa renaissance / runtuhnya muslim, dimana Barat yang berjaya (selama abad ke 16 M) sampai sekarang.

Fase Kejayaan Muslim
Seperti terungkap ketika membahas sejarah perkembangan studi Islam di dunia Muslim, bahwa kontak pertama antara dunia Barat dengan dunia muslim adalah lewat kontak perguruan tinggi. Bahwa sejumlah ilmuan dan tokoh-tokoh barat datang di perguruan tinggi muslim untuk memperdalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Di dunia Islam belahan timur, perguruan tinggi tersebut berkedudukan di Baghdad dan di Kairo, sementara di belahan barat ada di Cordova.

Bentuk lain dari kontak dunia muslim dengan dunia barat pada fase pertama adalah penyalinan manuskrip-manuskrip ke dalam bahasa latin sejak abad ke-13 M hingga bangkitnya zaman kebangunan (renaissance) di Eropa pada abad ke-14.
Berkat penyalinan karya-karya ilmiah dari manuskrip-manuskrip Arab itu, terbukalah jalan bagi perkembangan cabang-cabang ilmiah tersebut di Barat. Apalagi sesudah aliran empirisme yang dikumandangkan oleh Francis Bacon menguasai alam pikiran di Barat dan berkembangnya observasi dan eksperimen.

Setelah ilmu-ilmu yang dahulunya dikembangkan muslim masuk ke Eropa dan dikembangkan oleh sarjana-sarjana Barat, dirasakan banyak tidak sejalan dengan Islam. Misalkan dirasakan dirasuki oleh paham sekuler dan sejenisnya. Karena itu, beberapa ilmuan melakukan usaha pembersihan.

Fase Renaissance / Runtuhnya Muslim

Uraian berikut adalah gambaran kontak muslim dengan dunia barat pada periode kedua yang berlangsung selama abad renaissance. Selama abad renaissance Eropa menguasai dunia ntuk mencari mata dagangan, komersial, dan penyebaran agama.

Kedatangan muslim fase kedua ke dunia barat, khususnya eropa barat dilator belakangi oleh dua alasan pokok, yakni: (1) alasan politik dan (2) alasan ekonomi. Alasan politik adalah kesepakatan kedua negara, yang satu sebagai bekas penjajah, sementara yang satunya sebagai bekas jajahan. Misalnya Perancis mempunyai kesepakatan dengan negara bekas jajahannya, bahwa penduduk bekas jajahannya boleh masuk ke Perancis tanpa pembatasan. Maka berdatanglah muslim dari Afrika Barat dan Afrika Utara, khuusnya dari Algeria ke Perancis. Adapun alasan ekonomi adalah untuk mencukupi tenaga buruh yang dibutuhkan negara-negara Eropa Barat. Untuk menutupi kebutuhan itu Belgia, Jerman, Belanda merekrut buruh dari Turki, Maroko, dan beberapa negara Timur Tengah lainnya, sementara Inggris mendatangkan dari negara-negara bekas jajahannya. Adapun kategori Muslim yang ada di Eropa Barat ada dua, yakni pendatangg (migran) dan penduduk asli.

Sejarah Perkembangan Studi Islam di Indonesia

Perkembangan studi Islam di Indonesia dapat digambarkan demikian. Bahwa lembaga / sistem pendidikan islam di Indonesia mulai dari sistem pendidikan langgar, kemudian sistem pesantren, kemudian berlanjut dengan sistem pendidikan di kerajaan-kerajaan Islam, akhirnya muncul sistem kelas.

Maksud pendidikan dengan sistem langgar adalah pendidikan yang dijalankan di langgar, surau, masjid atau di rumah guru. Kurikulumnya pun bersifat elementer, yakni mempelajari abjad huruf arab. Dengan sistem ini dikelola oleh ‘alim, mudin, lebai. Mereka ini umumnya berfungsi sebagai guru agama atau sekaligus menjadi tukang baca do’a. pengajaran dengan sistem langgar ini dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan sorongan, yakni seorang murid berhadapan secara langsung dengan guru dan bersifat perorangan. Kedua, adalah dengan cara halaqah, yakni guru dikelilingi oleh murid-murid.

Adapun sistem pendidikan di pesantren, dimana seorang kyai mengajari santri dengan sarana masjid sebagai tempat pengajaran / pendidikan dan didukung oleh pondok sebagai tempat tinggal santri. Di pesantren juga berjalan dua cara yakni sorongan dan halaqah. Hanya saja sorongan di pesantren biasanya dengan cara si santri yang membaca kitab sementara kyai mendengar sekaligus mengoreksi jika ada kesalahan.
Sistem pengajaran berikutnya adalah pendidikan dikerajaan-kerajaan Islam, yang dimulai dari kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Adapun materi yang diajarkan di majlis ta’limdan halaqah di kerajaan pasai adalah fiqh mazhab al-Syafi’i.

Pada akhir abad ke 19 perkembangan pendidikan Islam di Indonesia mulai lahir sekolah model Belanda: sekolah Eropa, sekolah Vernahuler. Seklah khusus bagi ningrat Belanda, sekolah Vernahuler khusus bagi warga negara Belanda. Di samping itu ada sekolah pribumi yang mempunyai sistem yang sama dengan sekolah-sekolah Belanda tersebut, seperti sekolah Taman Siswa.

Kemudian dasawarsa kedua abad ke 20 muncul madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah model Belanda oleh organisasi Islam seperti Muhammadiyah, NU, Jama’at al-Khair, dan lain-lain.

Pada level perguruan tinggi dapat digambarkan bahwa berdirinya perguruan tinggi Islam tidak dapat dilepaskan dari adanya keinginan umat Islam Indonesia untuk memiliki lembaga pendidikan tinggi Islam sejak zaman kolonial. Pada bulan April 1945 diadakan pertemuan antara berbagai tokoh organisasi Islam, ulama, dan cendekiawan. Setelah persiaapan cukup, pada tanggal 8 Juli 1945 atau tanggal 27 Rajab 1364 H bertepatan dengan Isra’ dan Mi’raj diadakan acara pembukaan resmi Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. Dari sinilah sekarang kita mengenal UII, IAIN, UIN, STAIN dsb.

BAB III
PENUTUP

Pada perkembangan sejarah studi Islam di dunia muslim muncul perguruan tinggi yang terkenal dan sebagian daripadanya masih eksis sampai sekarang ini seperti al-Azhar di Kairo Mesir dan perguruan tinggi Kairwan di Maroko. Dari perguruan Tinggi tersebut terdapat alumni yang merupakan pejuang nasionalis muslim yang terkenal. Penyebab utama kemunduran dunia muslim khususnya di bidang ilmu pengetahuan adalah terpecahnya kekuatan politik yang digoyang oleh tentara bayaran Turki. Kemuian dalam kondisi demikian datang musuh dengan membawa bendera perang salib. Baghdad sebagai pusat ilmu pengetahuan ketika itu dihancurkan Hulaghu Khan 1258 M. Pusat-pusat studi termasuk yang dihancurkan oleh Hulaghu.

Kontak Islam dengan Barat (Eropa) dapat dikelompokkan menjadi dua fase, yakni: di masa kejayaan Islam (abad ke 8 M) kalau lihat Spanyol adalah abad 13 M, dan di masa renaissance / runtuhnya muslim, dimana Barat yang berjaya (selama abad ke 16 M) sampai sekarang.

Perkembangan studi Islam di Indonesia dapat digambarkan demikian. Bahwa lembaga / sistem pendidikan islam di Indonesia mulai dari sistem pendidikan langgar, kemudian sistem pesantren, kemudian berlanjut dengan sistem pendidikan di kerajaan-kerajaan Islam, akhirnya muncul sistem kelas.


DAFTAR PUSTAKA
Abd. Hakim, Atang, Drs., MA., dkk, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. 2008.
Nasution, Khoruddin, Dr., MA., Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA. 2004.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2006.