Pemikiran Hukum A.Hassan Terhadap Kepercayaan-Kepercayaan Umum Dalam Masyarakat Indonesia

Adalah alami bila dalam mencari sebuah Islam “murni” yang bebas dari bid’ah, A. Hassan menentang elemen-elemen kehidupan masyarakat yang diyakini bertentangan dengan hukum Islam, antara lain :

a. Makanan Ritual/Kenduri
Dalam salah satu fatwa yang diberi judul “ Kenduri Untuk Kehamilan” A. Hassan menyatakan, sejak pembuahan hingga kelahiran, tidak ada jenis perayaan tertentu yang diperintahkan oleh agama, baik itu yang disebut kenduri, slametan, pesta maupun perjamuan. Beliau menyatakan bahwa Islam memerintahkan diselenggarakannya perayaan pada saat pernikahan (walimatul ursyi), praktik pembacaan doa-doa dan syahadat dalam berbagai macam peristiwa semacam ini bukan merupakan bagian dari ibadah dan tidak seharusnya dilakukan. Fatwa A. Hassan juga menyatakan bahwa pada hari ketujuh setelah kelahiran seorang anak, kaum muslimin diperintahkan untuk melakukan akikah, memberi nama untuknya dan kemudian membagi-bagikan hewan yang disembelih itu untuk para kerabat dan tetangga. Di dalam persoalan ini, tidak pernah ada pembacaan doa apapun.
A. Hassan menentang perayaan yang diselenggarakan di rumah pada pagi hari saat terjadi penguburan dan pada beberapa hari berikutnya untuk membacakan doa-doa tertentu dengan maksud menebus dosa si jenazah. Praktik yang biasanya dilakukan di Indonesia adalah berkumpul di rumah keluarga almarhum pada saat selesai upacara penguburan, kemudian pada hari kesatu sampai dengan hari ketujuh, hari keseratus dan hari keseribu setelah kematian. Penalaran untuk praktik ini adalah bahwa pahala dapat diperoleh oleh mereka yang hadir melalui pelaksanaan ibadah sunnah seperti pembacaan zikir, membaca ayat atau surah tertentu dari Alquran, dan doa-doa khusus, dan bahwa pahala dapat diperoleh dan karenanya dapat dilimpahkan kepada almarhum sebagai pahalanya. Dengan menggunakan kias, dinalarkan bahwa persoalan-persoalan kebajikan agama dapat ditransfer kepada orang lain.
A. Hassan menolak pandangan bahwa pahala yang diperoleh seorang muslim dalam kondisi tertentu dapat ditransfer kepada muslim yang lain terutama kepada orang yang sudah meninggal dunia. Beliau menyatakan bahwa tidak ada rujukan yang jelas dalam Alquran dan Hadis mengenai hal ini dan juga ditegaskan bahwa agar praktik ibadah keagamaan tertentu bisa mendatangkan pahala harus didefinisikan dalam sumber-sumber tertentu. Tidak ada serangkaian prosedur peribadatan yang digambarkan untuk pelaksanaan kenduri di rumah duka, maka tindakan semacam ini tidak bisa dianggap mendatangkan pahala bagi mereka yang melakukan praktik tersebut. A. Hassan berhujjah bahwa jika pahala dapat dikirimkan kepada orang yang sudah meninggal, mengapa tidak dikirimkan saja kepada orang yang masih hidup, sedangkan dalam QS. Al-Najm : 39 dan Yasin : 54 yang kedua ayat tersebut merujuk pada penilaian Allah hanya didasarkan pada perbuatan yang telah dilakukan oleh masing-masing individu.
A. Hassan menyatakan bahwa Alquran dan Hadis tidak memerintahkan kaum muslim untuk terlibat dalam praktik doa dan pembacaan teks-teks keagamaan pada upacara kenduri dan bahwa hal ini juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat, tabiin dan tabiit tabiin atau ulama besar manapun yang mendirikan mazhab-mazhab hukum, yaitu Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal.

b. Wasilah Dan Pemujaan Wali
Dalam At-Tauhid, A.Hassan menyatakan bahwa Alquran dan Hadis memerintahkan agar doa ditujukan secara langsung kepada Tuhan tanpa rumusan apapun seperti dengan syafaat Nabi (memakai wasilah). Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa ketika Nabi Muhammad saw. masih hidup, para sahabat meminta beliau agar berdoa untuk mereka, tetapi setelah Nabi wafat, para sahabat tidak pernah meminta kepada roh beliau atau di kuburan beliau untuk melaksanakan pungsi ini. Bagaimanapun, praktik yang sebenarnya di kalangan para sahabat adalah meminta seorang anggota terkemuka dari kelompok mereka untuk mendoakan mereka dan bahwa anggota yang ditunjuk itu berdoa langsung kepada Allah dan tidak pernah meminta Nabi sebagai perantara (wasilah).
Menurut A. Hassan, dua klarifikasi ini, yaitu larangan sesungguhnya atas wasilah dari Alquran dan Hadis serta ketiadaannya diantara para sahabat—juga menjelaskan persoalan wasilah dengan menggunakan para wali. Wasilah telah menggoda manusia selama berabad-abad dan bahwa para ulama telah secara terus-menerus menegaskan bahwa wasilah tidak diperbolehkan dalam Islam. Meskipun terdapat elaborasi yang berkelanjutan semacam ini, banyak muslim yang tetap cenderung berkeyakinan bahwa wasilah mungkin saja absah. A. Hassan sepakat dengan ijmak ulama dan mengungkapkan bahwa kepercayaan yang luas terhadap wasilah dapat menciptakan kembali kondisi-kondisi yang ada di Arabia sebelum kedatangan Islam. Pada saat itu, umat manusia membangun berhala-berhala agar menjadi perantara mereka dengan Tuhan dan kemudian beralih menyembah berhala-berhala itu sendiri.
Meskipun mengecam praktik wasilah, A. Hassan menyatakan bahwa ziarah kubur diperbolehkan bagi kaum muslim selama dilakukan sesuai dengan aturan-aturan perilaku muslim yang standar. Dia menggambarkan bahwa tujuan ziarah kubur adalah untuk mendoakan orang yang sudah meninggal dunia dan mengingat akan kehidupan akhirat. Dia menyatakan bahwa doa di kuburan seharusnya tidak ditujukan untuk membantu muslim tertentu yang sudah meninggal dunia, tetapi seharusnya menjadi bagian doa umum dan harus ditujukan untuk memintakan rahmat Tuhan bagi seluruh muslim yang telah meninggal dunia. A. Hassan menentang bid’ah dan memperingatkan kaum muslim untuk tidak terikat dengan jadwal tertentu dalam melaksanakan ziarah kubur. Dia juga memperingatkan umat Islam untuk menghindari ziarah ke kuburan-kuburan tertentu, dengan alasan bahwa hadis sahih tidak menggambarkan atau mendefinisikan prosedur yang pasti mengenai hal tersebut.
Dari Pemikiran A.Hassan di atas dapat dinyatakan A.Hassan memiliki pandangan bahwa Islam merupakan kebenaran tunggal yang tidak bisa diotak atik. Beliau sangat menolak praktik-praktik ritual atau tradisi lokal, sebab hal tersebut dikatagorikan sebagai bagian dari bid’ah, takhayyul, khurafat dan syirik yang bertentangan dengan Islam.