SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU HADITS

5. Sejarah Singkat Perkembangan Al-Hadits.
Para ulama membagi perkembangan hadits itu kepada 7 periode yaitu :
a. Masa wahyu dan pembentukan hukum ( pada Zaman Rasul : 13 SH - 11 SH ).
b. Masa pembatasan riwayat ( masa khulafaur-rasyidin : 12-40 H ).
c. Masa pencarian hadits ( pada masa generasi tabi'in dan sahabat-sahabat muda : 41 H - akhir abad 1 H ).
d. Masa pembukuan hadits ( permulaan abad II H ).
e. Masa penyaringan dan seleksi ketat ( awal abad III H ) sampai selesai.
f. Masa penyusunan kitab-kitab koleksi ( awal abad IV H sampai jatuhnya Baghdad pada tahun 656 H ).
g. Masa pembuatan kitab syarah hadits, kitab-kitab tahrij dan penyusunan kitab-kitab koleksi yang lebih umum ( 656 H dan seterusnya ).
Pada zaman Rasulullah al-Hadits belum pernah dituliskan sebab :
a. Nabi sendiri pernah melarangnya, kecuali bagi sahabat-sahabat tertentu yang diizinkan beliau sebagai catatan pribadi.

b. Rasulullah berada ditengah-tengah ummat Islam sehingga dirasa tidak sangat perlu untuk dituliskan pada waktu itu.
c. Kemampuan tulis baca di kalangan sahabat sangat terbatas.
d. Ummat Islam sedang dikonsentrasikan kepada Al-Qur'an.
e. Kesibukan-kesibukan ummat Islam yang luar biasa dalam menghadapi perjuangan da'wah yang sangat penting.
Pada zaman-zaman berikutnya pun ternyata al-Hadits belum sempat dibukukan karena sebab-sebab tertentu. Baru pada zaman �Umar bin Abdul Azis, khalifah ke-8 dari dinasti Bani Umayyah ( 99-101 H ) timbul inisiatif secara resmi untuk menulis dan membukukan hadits itu. Sebelumnya hadits-hadits itu hanya disampaikan melalui hafalan-hafalan para sahabat yang kebetulan hidup lama setelah Nabi wafat dan pada sa'at generasi tabi'in mencari hadits-hadits itu.
Diantara sahabat-sahabat itu ialah :
Abu Hurairah, meriwayatkan hadits sekitar 5374 buah. Abdullah bin � Umar bin Khattab, meriwayatkan sekitar 2630 buah. Anas bin Malik, meriwayatkan sebanyak 2286 buah. Abdullah bin �Abbas, meriwayatkan sebanyak 1160 buah. �Aisyah Ummul Mu'minin, meriwayatkan sebanyak 2210 buah. Jabir bin �Abdillah meriwayatkan sebanyak 1540 buah. Abu Sa'id al-Hudri meriwayatkan 1170 buah.
Kenapa kemudian Hadits Dikodifikasi.
Kodifikasi Hadits itu justru dilatar belakangi oleh adanya usaha-usaha untuk membuat dan menyebarluaskan hadits-hadits palsu dikalangan ummat Islam, baik yang dibuat oleh ummat Islam sendiri karena maksud-maksud tertentu, maupun oleh orang-orang luar yang sengaja untuk menghancurkan Islam dari dalam. Dan sampai saat ini ternyata masih banyak hadits-hadits palsu itu bertebaran dalam beberapa literatur kaum Muslimin. Di samping itu tidak sedikit pula kesalahan-kesalahan yang berkembang dikalangan masyarakat Islam, berupa anggapan terhadap pepatah-pepatah dalam bahasa Arab yang dinilai mereka sebagai hadits.
Walaupun ditinjau dari segi isi materinya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam, tetapi kita tetap tidak boleh mengatakan bahwa sesuatu ucapan itu sebagai ucapan Rasulullah kalau memang bukan sabda Rasul. Sebab Sabda Rasulullah : " Barangsiapa berdusta atas namaku maka siap-siap saja tempatnya dineraka ".
Alhamdulillah, berkat jasa-jasa dari ulama-ulama yang saleh, hadits-hadits itu kemudian sempat dibukukan dalam berbagai macam buku, serta diadakan seleksi-seleksi ketat oleh mereka sampai melahirkan satu disiplin ilmu tersendiri yang disebut Ilmu Musthalah Hadits. Walaupun usaha mereka belum dapat membendung seluruh usaha-usaha penyebaran hadits-hadits palsu dan lemah, namun mereka telah melahirkan norma-norma dan pedoman-pedoman khusus untuk mengadakan seleksi sebaik-baiknya yang dituangkan dalam ilmu musthalah hadits tersebut.
Sehingga dengan pedoman itu ummat Islam sekarang pun dapat mengadakan seleksi-seleksi seperlunya. Nama-nama Ishak bin Rahawih, Imam Bukhari, Imam Muslim, ar-Rama at-Turmudzi, al-Madini, Ibnu Shalah dan banyak lagi ulama-ulama saleh lainnya adalah rentetan nama-nama yang besar jasanya dalam usaha penyelamatan hadits-hadits dari kepalsuan-kepalsuan sehingga lahirlah ilmu tersebut.
Untuk memberikan gambaran perkembangan hadits dapat kita perhatikan perkembangan kelahiran kitab-kitab hadits dan ilmu-ilmu hadits.


6. Perkembangan Kitab-kitab Hadits
A. Cara penyusunan kitab-kitab hadits.
Dalam penyusunan kitab-kitab hadits para ulama menempuh cara-cara antara lain :
1. Penyusunan berdasarkan bab-bab fiqhiyah, mengumpulkan hadits-hadits yang berhubungan dengan shalat umpamanya dalam babush-shalah,hadits-hadits yang berhubungan dengan masalah wudhu dalam babul-wudhu dan sebagainya. Cara ini terbagi dua macam :
a. Dengan mengkhususkan hadits-hadits yang shahih saja, seperti yang ditempuh oleh Imam Bukhari dan Muslim.
b. Dengan tidak mengkhususkan hadits-hadits yang shahih ( asal tidak munkar ), seperti yang ditempuh oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'I, dan sebagainya.
2. Penyusunan berdasarkan nama-nama sahabat yang meriwayatkannya. Cara ini terbagi dua macam :
a. Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan abjad.
b. Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan nama qabilah. Mereka dahulukan Banu Hasyim, kemudian qabilah yang terdekat dengan Rasulullah.
c. Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan kronologik masuknya Islam. Mereka didahulukan sahabat-sahabat yang termasuk assabiqunal awwalun kemudian ahlul Badr, kemudian ahlul Hudaibiyah, kemudian yang turut hijrah dan seterusnya.
d. Dengan menyusun sebagaimana ketiga dan dibagi-bagi berdasarkan awamir, nawahi, ikhbar, ibadat, dan af'alun nabi. Seperti yang ditempuh oleh Ibnu Hibban dalam shahehnya.
3. Penyusunan berdasarkan abjad-abjad huruf dari awal matan hadits, seperti yang ditempuh oleh Abu Mansur Abdailani dalam Musnadul Firdausi dan oleh as-Suyuti dalam Jamiush-Shagir.
B. Kitab-kitab Hadits Pada Abad ke I H.
1. Ash-Shahifah oleh Imam Ali bin Abi Thalib.
2. Ash-Shadiqah oleh Imam Abdullah bin Amr bin �Ash.
3. Daftar oleh Imam Muhammad bin Muslim ( 50 - 124 H ).
4. Kutub oleh Imam Abu Bakar bin Hazmin.
Keempat-empatnya tidak sampai ke tangan kita, jadi hanya berdasarkan keterangan sejarah saja yang dapat dipertanggung-jawabkan.
C. Kitab-kitab Hadits Pada Abad ke-2 H.
1. Al-Musnad oleh Imam Abu Hanifah an-Nu'man ( wafat 150 H ).
2. Al-Muwaththa oleh Imam Malik Anas ( 93 - 179 H ).
3. Al-Musnad oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi'I ( 150 - 204 H ).
4. Mukhtaliful Hadits oleh Muh, bin Idris asy-Syafi'I ( 150 - 204 H ).
5. Al-Musnad oleh Imam Ali Ridha al-Katsin ( 148 - 203 H ).
6. Al-Jami' oleh Abdulrazaq al-Hamam ash Shan'ani ( wafat 311 H ).
7. Mushannaf oleh Imam Syu'bah bin Jajaj ( 80 - 180 H ).
8. Mushannaf oleh Imam Laits bin Sa'ud ( 94 - 175 H ).
9. Mushannaf oleh Imam Sufyan bin �Uyaina ( 107 - 190 H ).
10.as-Sunnah oleh Imam Abdurrahman bin �Amr al-Auza'i ( wafat 157 H ).
11.as-Sunnah oleh Imam Abd bin Zubair b. Isa al-Asadi.
Seluruh kitab-kitab hadits yang ada pada abad ini tidak sampai kepada kita kecuali 5 buah saja yaitu nomor 1 sampai dengan 5.

6. Perkembangan Kitab-kitab Hadits
D. Kitab-kitab Hadits pada abad ke-3 H.
1. Ash-Shahih oleh Imam Muh bin Ismail al-Bukhari ( 194 - 256 H ).
2. Ash-Shahih oleh Imam Muslim al-Hajjaj ( 204 - 261 H ).
3. As-Sunan oleh Imam Abu Isa at-Tirmidzi ( 209 - 279 H ).
4. As-Sunan oleh Imam Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy'at ( 202 - 275 H ).
5. As-Sunan oleh Imam Ahmad b.Sya'ab an-Nasai ( 215 - 303 H ).
6. As-Sunan oleh Imam Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman ad Damiri ( 181 - 255 H ).
7. As-Sunan oleh Imam Muhammad bin Yazid bin Majah Ibnu Majah ( 209 - 273 H ).
8. Al-Musnad oleh Imam Ahmad bin Hambal ( 164 - 241 H).
9. Al-Muntaqa al-Ahkam oleh Imam Abd Hamid bin Jarud ( wafat 307 H ).
10. Al-Mushannaf oleh Imam Ibn. Abi Syaibah ( wafat 235 H ).
11. Al-Kitab oleh Muhammad Sa'id bin Manshur ( wafat 227 H ).
12. Al-Mushannaf oleh Imam Muhammad Sa'id bin Manshur ( wafat 227 H ).
13. Tandzibul Afsar oleh Imam Muhammad bin Jarir at-Thobari ( wafat 310 H ).
14. Al-Musnadul Kabir oleh Imam Baqi bin Makhlad al-Qurthubi ( wafat 276 H ).
15. Al-Musnad oleh Imam Ishak bin Rawahaih ( wafat 237 H ).
16. Al-Musnad oleh Imam �Ubaidillah bin Musa ( wafat 213 H ).
17. Al-Musnad oleh Abdibni ibn Humaid ( wafat 249 H ).
18. Al-Musnad oleh Imam Abu Ya'la ( wafat 307 H ).
19. Al-Musnad oleh Imam Ibn. Abi Usamah al-Harits ibn Muhammad at-Tamimi ( 282 H ).
20. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi �Ashim Ahmad bin Amr asy-Syaibani ( wafat 287 H ).
21. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi'amrin Muhammad bin Yahya Aladani ( wafat 243 H ).
22. Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin al-Askari ( wafat 282 H ).
23. Al-Musnad oleh Imam bin Ahmad bin Syu'aib an-Nasai ( wafat 303 H ).
24. Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin Ismail at-Tusi al-Anbari ( wafat 280 H ).
25. Al-Musnad oleh Imam Musaddad bin Musarhadin ( wafat 228 ).
Dan masih banyak sekali kitab-kitab musnad yang ditulis oleh para ulama abad ini.
E. Kitab-kitab Hadits Pada Abad ke-4 H.
1. Al-Mu'jam Kabir, ash-Shagir dan al-Ausath oleh Imam Sulaiman bin Ahmad ath-Thabrani ( wafat 360 H ).
2. As-Sunan oleh Imam Darulkutni ( wafat 385 H ).
3. Ash-Shahih oleh Imam Abu Hatim Muhammad bin Habban ( wafat 354 H ).
4. Ash-Shahih oleh Imam Abu �Awanah Ya'qub bin Ishaq ( wafat 316 H ).
5. Ash-Shahih oleh Imam Ibnu Huzaimah Muhammad bin Ishaq ( wafat 311 H ).
6. Al-Muntaqa oleh Imam Ibnu Saqni Sa'id bin'Usman al-Baghdadi ( wafat 353 H ).
7. Al-Muntaqa oleh Imam Qasim bin Asbagh ( wafat 340 H ).
8. Al-Mushannaf oleh Imam Thahawi ( wafat 321 H ).
9. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Jami Muhammad bin Ahmad ( wafat 402 H ).
10.Al-Musnad oleh Imam Muhammad bin Ishaq ( wafat 313 H ).
11.Al-Musnad oleh Imam Hawarizni ( wafat 425 H ).
12.Al-Musnad oleh Imam Ibnu Natsir ar-Razi ( wafat 385 H ).
13.Al-Mustadrak �ala-Shahihaini oleh Imam Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Hakim an-Naisaburi ( 321 - 405 H ).
F. Tingkatan Kitab Hadits.
Menurut penyelidikan para ulama ahli hadits secara garis besar tingkatan kitab-kitab hadits tersebut bisa dibagi sebagai berikut :
1. Kitab Hadits ash-Shahih yaitu kitab-kitab hadits yang telah diusahakan para penulisnya untuk hanya menghimpun hadits-hadits yang shahih saja.
2. Kitab-kitab Sunan yaitu kitab-kitab hadits yang tidak sampai kepada derajat munkar. Walaupun mereka memasukkan juga hadits-hadits yang dha'if ( yang tidak sampai kepada munkar ). Dan sebagian mereka menjelaskan kedha'ifannya.
3. Kitab-kitab Musnad yaitu kitab-kitab hadits yang jumlahnya sangat banyak sekali. Para penghimpunnya memasukkan hadits-hadits tersebut tanpa penyaringan yang seksama dan teliti. Oleh karena itu didalamnya bercampur-baur diantara hadits-hadits yang shahih, yang dha'if dan yang lebih rendah lagi. Adapun kitab-kitab lain adalah disejajarkan dengan al-Musnad ini. Diantara kitab-kitab hadits yang ada, maka Shahih Bukhari-lah kitab hadits yang terbaik dan menjadi sumber kedua setelah al-Qur'an, dan kemudian menyusul Shahih Muslim. Ada para ulama hadits yang meneliti kitab Muslim lebih baik daripada Bukhari, tetapi ternyata kurang dapat dipertanggungjawabkan, walaupun dalam cara penyusunan hadits-hadits, kitab Muslim lebih baik daripada Bukhari, sedang syarat-syarat hadits yang digunakan Bukhari ternyata tetap lebih ketat dan lebih teliti daripada apa yang ditempuh Muslim. Seperti tentang syarat yang diharuskan Bukhari berupa keharusan kenal baik antara seorang penerima dan penyampai hadits, dimana bagi Muslim hanya cukup dengan muttashil ( bersambung ) saja.
6. Perkembangan Kitab-kitab Hadits
g. Kitab-kitab Shahih Selain Bukhari Muslim.
Ada beberapa ulama yang telah berusaha menghimpun hadits-hadits shahih sebagaimana yang ditempuh oleh Bukhari dan Muslim, akan tetapi menurut penyelidikan ahli-ahli hadits, ternyata kitab-kitab mereka tidak sampai kepada tingkat kualitas kitab-kitab Bukhari dan Muslim.
Para ulama yang menyusun Kitab Shahih tersebut ialah :
1. Ibnu Huzaimah dalam kitab ash-Shahih.
2. Abu �Awanah dalam kitab ash-Shahih.
3. Ibnu Hibban dalam kitab at-Taqsim Walarba.
4. Al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak.
5. Ibnu Jarud dalam kitab al-Muntaqa.
6. Ibnu Abdil Wahid al-Maqdisi dalam kitabnya al-Mukhtarah.
Menurut sebagian besar para ulama hadits, diantara kitab-kitab hadits ada 7 ( tujuh ) kitab hadits yang dinilai terbaik yaitu :
1. Ash-Shahih Bukhari.
2. Ash-Shahih Muslim.
3. Ash-Sunan Abu-Dawud.
4. As-Sunan Nasai.
5. As-Sunan Tirmidzi.
6. As-Sunan Ibnu Majah.
7. Al-Musnad Imam Ahmad.
7. Perkembangan Ilmu Hadits
Ilmu Hadits yang kemudian populer dengan ilmu mushthalah hadits adalah salah satu cabang disiplin ilmu yang semula disusun oleh Abu Muhammad ar-Rama al-Hurmuzi ( wafat 260 ), walaupun norma-norma umumnya telah timbul sejak adanya usaha pengumpulan dan penyeleksian hadits oleh masing-masing penulis hadits.
Secara garis besarnya ilmu hadits ini terbagi kepada dua macam yaitu : ilmu hadits riwayatan dan ilmu hadits dirayatan. Ilmu hadits dirayatan membahas hadits dari segi diterima atau tidaknya, sedang ilmu hadits riwayatan membahas materi hadits itu sendiri. Dalam perkembangan berikutnya telah lahir berbagai cabang ilmu hadits, seperti :
a. Ilmu rijalul hadits, yaitu ilmu yang membahas tokoh-tokoh yang berperan dalam periwayatan hadits.
b. Ilmu jarh wat-ta'dil, yaitu ilmu yang membahas tentang jujur dan tidaknya pembawa-pembawa hadits.
c. Ilmu panilmubhamat, yaitu ilmu yang membahas tentang orang-orang yang tidak nampak peranannya dalam periwayatan suatu hadits.
d. Ilmu tashif wat-tahrif, yaitu ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang berubah titik atau bentuknya.
e. Ilmu �ilalil hadits, yaitu ilmu yang membahas tentang penyakit-penyakit yang tidak nampak dalam suatu hadits, yang dapat menjatuhkan kwalitas hadits tersebut.
f. Ilmu gharibil hadits, yaitu ilmu yang membahas tentang kalimat-kalimat yang sukar dalam hadits.
g. Ilmu asbabi wurudil hadits, yaitu ilmu yang membahas tentang sebab timbulnya suatu hadits.
h. Ilmu talfiqil hadits, yaitu ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan hadits yang nampaknya bertentangan.
i. Dan lain-lain.
8. Seleksi Hadits
Dengan menggunakan berbagai macam ilmu hadits itu, maka timbullah berbagai macam nama hadits, yang disepakati oleh para ulama, yang sekaligus dapat menunjukkan jenis, sifat, bentuk, dan kualitas dari suatu hadits. Yang paling penting untuk diketahui adalah pembagian hadits itu atas dasar kualitasnya yaitu :
a. Maqbul ( dapat diterima sebagai pedoman ) yang mencakup hadits shahih dan hadits hasan.
b. Mardud ( tidak dapat diterima sebagai pedoman ) yang mencakup hadits dha'if / lemah dan hadits maudhu' / palsu.
Usaha seleksi itu diarahkan kepada tiga unsur hadits, yaitu :
a. Matan ( materi hadits ).
Suatu materi hadits dapat dinilai baik apabila materi hadits itu tidak bertentangan dengan al-Qur'an atau hadits lain yang lebih kuat, tidak bertentangan dengan realita, tidak bertentangan dengan fakta sejarah, tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Untuk sekedar contoh dapat kita perhatikan hadits-hadits yang dinilai baik,tapi bertentangan isi materinya dengan al-Qur'an :
1. Hadits yang mengatakan bahwa " Seorang mayat akan disiksa oleh Tuhan karena ratapan ahli warisnya ", adalah bertentangan dengan firman Allah : " Wala taziru waziratun wizra ukhra " yang artinya " Dan seseorang tidak akan memikul dosa orang lain " ( al-An'an : 164 ).
2. Hadits yang mengatakan : " Barangsiapa yang meninggal dunia dalam keadaan punya hutang puasa, maka hendaklah dipuasakan oleh walinya ", adalah bertentangan dengan firman Allah : " Wa allaisa lil insani illa ma-sa'a ", yang artinya : " Dan seseorang tidak akan mendapatkan pahala apa-apa kecuali dari apa yang dia kerjakan sendiri ". ( an-Najm : 39 ).
Ada satu norma yang disepakati oleh mayoritas ulama, yaitu : " Apabila Qur'an dan hadits bertentangan, maka ambillah Qur'an ".
b. Sanad ( persambungan antara pembawa dan penerima hadits ).
Suatu persambungan hadits dapat dinilai segala baik, apabila antara pembawa dan penerima hadits benar-benar bertemu bahkan dalam batas-batas tertentu berguru. Tidak boleh ada orang lain yang berperanan dalam membawakan hadits tapi tidak nampak dalam susunan pembawa hadits itu.
Apabila ada satu kaitan yang diragukan antara pembawa dan penerima hadits, maka hadits itu tidak dapat dimasukkan dalam kriteria hadits yang maqbul.
c. Rawi ( orang-orang yang membawakan hadits ) :
Seseorang yang dapat diterima haditsnya ialah yang memenuhi syarat-syarat :
1. �Adil, yaitu orang Islam yang baligh dan jujur, tidak pernah berdusta dan membiasakan dosa.
2. Hafizh, yaitu kuat hafalannya atau mempunyai catatan pribadi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan kriteria-kriteria seleksi tersebut, maka jumhur ( mayoritas ) ulama berpendirian bahwa kitab ash-Shahih Bukhari dan kitab ash-Shahih Imam Muslim dapat dijamin keshahihannya ditinjau dari segi sanad dan rawi. Sedang dari segi matan kita dapat memberikan seleksinya dengan pedoman-pedoman diatas. Beberapa langkah praktis dalam usaha seleksi hadits, apakah sesuatu hadits itu maqbul atau tidak adalah :
1. Perhatikan materinya sesuai dengan norma diatas.
2. Perhatikan kitab pengambilannya ( rowahu = diriwayatkan atau ahrajahu = dikeluarkan ). Apabila matannya baik diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim, maka dapat dinilai hadits itu shahih atau paling rendah hasan.
Dengan demikian dapat dikatakan shahih apabila ujung hadits itu oleh para ulama diberi kata-kata :
a. Diriwayatkan / dikeluarkan oleh jama'ah.
b. Diriwayatkan / dikeluarkan oleh Imam 7.
c. Diriwayatkan / dikeluarkan oleh Imam 6.
d. Diriwayatkan / dikeluarkan oleh dua syaikh ( Bukhari dan Muslim ).
e. Disepakati oleh Bukhari dan Muslim ( Muttafaqun � alaihi ).
f. Diriwayatkan oleh Bukhari saja atau oleh Muslim saja.
g. Diriwayatkan oleh �..dan disyahkan oleh Bukhari atau Muslim.
h. Diriwayatkan oleh �..dengan syarat Bukhari atau Muslim.
3. Apabila sesuatu hadits sudah baik materinya tetapi tidak termasuk dalam persyaratan pun 2 diatas maka hendaknya diperhatikan komentar-komentar ulama terhadap hadits itu seperti :
Komentar baik : Hadits quwat, hadits shahih,hadits jayyid, hadits baik, hadits pilihan dan sebagainya.
Komentar jelek : Hadits putus, hadits lemah, hadits ada illatnya, mauquf, maqthu, mudallas, munkar, munqathi, muallak, dan lain sebagainya.
Dalam hal ini kita akan menemukan sesuatu hadits yang mendapatkan penilaian berbeda / bertentangan antara seorang ulama dan lainnya. Maka langkah kita adalah : dahulukan yang mencela sebelum yang memuji ( " Al-jarhu Muqaddamun �alat ta'dil " ). Hal ini apabila dinilai oleh sama-sama ahli hadits. Hal lain yang perlu diperhatikan ialah bahwa tidak semua komentar ulama tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Artinya sesuatu hadits yang dikatakan oleh para ulama shahih, kadang-kadang setelah diteliti kembali ternyata tidak demikian. Contohnya dalam hadits kita akan menemukan kata-kata dan dishahihkan oleh Imam Hakim, oleh Ibnu Huzaimah dan lain-lain, tetapi ternyata hadits tersebut tidak shahih ( belum tentu shahih ).
4. Apabila langkah-langkah diatas tidak mungkin ditempuh atau belum memberikan kepastian tentang keshahihan sesuatu hadits, maka hendaknya digunakan norma-norma umum seleksi, seperti yang diterangkan diatas, yaitu menyelidiki langsung tentang sejarah para rawi dan lain-lain, dan untuk ini telah disusun oleh para ulama terdahulu sejumlah buku-buku yang membahas tentang sejarah dan keadaan para pembawa hadits, seperti yang pernah dilakukan oleh al-Bukhari dalam bukunya ad-Dhu'afa ( kumpulan orang-orang yang lemah haditsnya ).